Sore itu, sekitar pukul 4, sebanyak 25 anak berkumpul di rumah ibu Astuti, ibu guru sekaligus Wali Kelas 4 SDN 003 Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Mereka tengah menantikan waktu berbuka puasa bersama. Setelah membiarkan anak-anak bermain dan bercanda sejenak, Ibu Astuti mengajak mereka berkumpul dalam lingkaran. Aktivitas diawali dengan doa bersama, lalu anak-anak memasuki suasana hening dengan mengucapkan dzikir dalam hati selama beberapa menit.
Hari itu anak-anak akan melakukan aktivitas kreatif berkelompok; mengenali kekuatan tangan untuk melakukan kebaikan. Di dalam kelompok kecil, anak-anak menggambar tangan dengan cara menjiplaknya di atas kertas. Ibu Astuti mengajak anak-anak menemukan kualitas positif tangan dengan menanyakan apa saja hal baik yang bisa mereka lakukan menggunakan kedua tangan. Beliau juga mengingatkan bahwa baik tangan kanan maupun kiri sama-sama memiliki peluang melakukan kebaikan
Di tengah keasyikan membuat daftar perbuatan baik, salah satu murid, Salima, mengusulkan untuk membuat juga daftar perbuatan yang tidak baik yang pernah mereka lakukan. “Biar kita ingat bu, apa saja yang tidak baik. Kita tidak mau mengulangi.” Memahami niat baik Salima dan kesetujuan teman-temannya, Ibu Tuti mempersilakan anak-anak membuat daftar perbuatan baik yang akan terus dilakukan dan daftar perbuatan buruk yang tidak ingin diulangi.
Setelah selesai menggambar dan mewarnai, masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Faras, teman Salima, dalam presentasi kelompok mengatakan, “bu, kalau kita menggunakan tangan kita untuk hal yang negatif, kita bisa ditangkap polisi, sebaiknya kita memakai tangan kita untuk yang baik-baik saja, kita akan aman”. Anak-anak terlihat senang bisa menuangkan kreatifitas mereka sekaligus mendiskusikan topik yang sederhana dan dekat dengan keseharian mereka. Salah satu anak dari kelompok lain menyimpulkan, “saya jadi lebih tahu kalau tangan saya bisa melakukan hal baik dan tidak baik. Saya senang. Mau ikut lagi (acara) yang seperti ini”.
Awalnya bu Tuti merasa ragu dan kurang persiapan. Namun dengan bekal kemampuan anak untuk menggambar dan mewarnai, kegiatan sederhana itu mampu dilakukan dan berhasil membantu anak-anak mengidentifikasi perasaan yang muncul dari setiap pilihan tindakan. Beliau merasa gembira karena akhirnya bisa mengaplikasikan aktivitas nilai setelah mengikuti lokakarya LVE di Ubud pada bulan Januari 2019. “Sebagai awal ini baik, saya rasa ini sejalan dengan upaya sekolah yang mencanangkan program Pendidikan karakter. Di kegiatan ini saya ingin menghidupkan nilai kejujuran dan persatuan. Saya mengambil dari materi LVE, lebih sederhana karena bisa langsung dirasakan oleh anak-anak”, jelasnya.
Selain mengajar, Ibu Astuti telah menjalankan aktivitas Gerobak Literasi bersama anak-anaknya sejak Maret 2019. Setiap Jumat mereka mendorong gerobak berkeliling kompleks untuk menyediakan bacaan buat warga kompleks. “Saya ingin nantinya saya bisa menambah selingan aktivitas nilai selagi menjalankan Gerobak Literasi”, ujarnya. Bagi Ibu Astuti, yang penting adalah bisa terus berbagi. “Dalam hidup, sepintar apapun saya, kalau ilmu yang saya dapat sia-sia atau tidak bermanfaat bagi orang lain itu nihil. Nilai plus itu ketika kita bisa berguna bagi orang lain, hal-hal yang sederhana ketika bisa dibagikan dan membahagiakan orang lain akan menghasilkan kepuasan batin yang besar”, jelasnya.
Kontributor: Kurnia Astuti, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.