————–
Membandingkan Memang Enak, Tapi Apa Siap Dampaknya?
Judul itu konteksnya dalam pengasuhan anak lho ya, bukan membandingkan kinerja mantan siapa dengan siapa yaa..
Ceritanya gini, suatu hari ada klien berusia hampir 30 tahun mengeluh. Dibesarkan dalam keluarga yang mapan secara finansial, pendidikan tinggi dari luar negeri, dan bentuk fisik yang sempurna, rupanya tidak membuat klien memahami dirinya.
Dia menuding dirinya sendiri mengalami depresi. Banyak sekali pikiran negatif berseliweran di benaknya. Makin mantaplah diri menderita depresi. Usut punya usut .. ternyata klien dibesarkan dalam model pengasuhan otoriter dan komparasi. DIbandingkan sejak kecil oleh orangtuanya dengan saudara dari keluarga besarnya membuat klien tidak mengenal dirinya. Pendidikan dijalani sesuai dengan order dari orangtua. Pekerjaan sudah tersedia yaitu mengelola perusahaan keluarga, tapi dia tidak diberikan keleluasaan untuk mengelolanya.
Dengan cara membandingkan, orangtua mungkin bertujuan untuk memacu semangat anaknya. Ya okelah kalau dilakukan sesekali, tapi kalau konsisten membandingkan maka tujuannya bukanlah memotivasi tapi “sengaja” menghancurkan harga diri anak. Apakah orangtua berpikir akan hal itu?
Akibatnya hingga usia dewasa, anak tidak tahu tujuan hidupnya, tidak tahu apa kelebihannya, dan juga tidak tahu mau melakukan apa dalam hidupnya (karena merasa tidak punya otonomi dalam hidupnya). Giliran orangtua bingung kenapa anaknya “sakit” seperti itu.
Kasus seperti itu bukan hanya satu, tapi sudah beberapa kali. Saya menyayangkan mengapa orang-orang muda yang harusnya bisa produktif dalam usianya, malah terjebak dalam kondisi depresif. Sungguh.. eman-eman..
Bagi orangtua yang berasal dari keluarga besar dengan banyak kisah sukses di dalamnya, tolong hentikan godaan untuk membandingkan anak Anda dengan mereka. Cari cara lain untuk menyemangati anak Anda tanpa menjatuhkan harga dirinya. Okay?