Bermaksud mendisiplinkan anak atau agar anak menuruti kehendak orangtua, tanpa sadar kita sebagai orang dewasa mengeluarkan ancaman atau menakut-nakuti. Walau cara ini bisa berhasil, tapi seringkali anak tidak mempan lagi diancam.
Ancaman seperti “Kalau kamu nakal nanti ibu akan pergi,”, atau “Awas, jangan keluar rumah kalau sudah sore biar tidak diculik”, mungkin juga sering kita ucapkan agar anak menurut.
Anak yang sering diancam atau ditakut-takuti bisa tumbuh menjadi anak yang penakut, peragu, serta memiliki kepercayaan diri rendah.
Usia 2-12 tahun adalah periode yang paling menentukan pada perkembangan aspek emosional anak. Ini karena pada periode ini merupakan masa pembentukan ego dan self-esteem.
Pola asuh suka mengancam dan menakut-nakuti tersebut memang sering dilakukan orangtua. Menurut psikolog dari Universitas Tarumanegara Naomi Soetikno, M.Pd, Psi, kebiasaan itu merupakan hasil dari masa penjajahan.
Saat ini pola asuh yang banyak dipakai adalah positif psikologi, lebih banyak memberikan komentar-komentar positif dalam berbagai situasi (Dorongan Membangun Sikap Positif dalam LVE, ed.).
Setelah anak melakukan hal yang baik, beri anak apresiasi dengan penekanan pada sebab dan akibatnya. Misalnya, setelah kamar bersih dan rapi, sampaikan bahwa kalau sudah bersih kamar jadi lebih terang sehingga membaca pun lebih enak.
“Sejak dulu kita biasa diancam. Banyak orangtua yang menganggap pola pendidikan reward and punishment adalah yang terbaik. Tetapi kini pendekatan seperti itu sudah mulai ditinggalkan,” kata Naomi.
Alih-alih hanya menjadi “mandor” yang cuma main perintah pada anak, lebih baik orangtua memperbanyak kebersamaan dengan anak. “Kalau melihat kamar anak berantakan, dari pada teriak-teriak menyuruh anak membereskan, lebih baik ajak anak membereskannya bersama-sama,” lanjutnya.
Semoga menambah wawasan Anda!
Sumber: http://health.kompas.com/…/Tinggalkan.Pola.Asuh.Suka.Mengan…