Cara mendidik anak dengan bahasa kekerasan, memerintah dan memaksa harus ditinggalkan. Orangtua dituntut untuk melakukan pendekatan yang ramah agar disiplin anak tumbuh karena kesadaran, bukan karena keterpaksaan.
Hal itu diungkapkan konselor sekaligus Parental Coach, Elliyati Bahri dalam Seminar Pendidikan Keluarga di Semarang, Minggu (1/5/2016) siang. Menurutnya, anak adalah calon pemimpin masa depan. Karena itu mendidik anak harus menggunakan pendekatan yang ramah otak, dengan bahasa yang lebih persuasif.
Cara komunikasi dengan cara berteriak atau memerintah dengan suara melengking, akan membuat anak merasa tergores harga dirinya. Orangtua bisa menggunakan kalimat yang lebih ramah dan dengan bahasa yang lebih persuasif seperti ‘”Kalau PR-nya sudah dikerjakan, ibu mau bikinkan minuman coklat atau jus?”.
Cara-cara persuasif tersebut, imbuhnya, akan menyibukkan pikiran sadar anak dengan pilihan yang ditawarkan. Sementara sugesti perintahnya agar sang anak mau mengerjakan PR yang menjadi kewajibannya.
Komunikasi adalah kunci dari pendidikan anak. Inilah yang harus didorong agar dilakukan para ibu di Indonesia. Sebab, anak yang mengalami kekerasan secara verbal, seperti sering dibanding- bandingkan, di-bully, serta memberi label, dapat menimbulkan kecenderungan jiwanya akan kerdil.
Pada tahun 2025 mendatang, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Di mana negara akan memiliki ledakan penduduk usia produktif yang luar biasa. Pada kondisi ini, diharapkan jangan sampai terjadi karena anak-anak yang gagal dalam pertumbuhan emosionalnya, karena anak merupakan masa depan bangsa.
Hanya dengan kelembutan, kasih sayang dan hanya dengan cinta, anak- anak akan menurut dan patuh pada orangtua, karena kesadarannya yang tumbuh dan bukan karena keterpaksaan.
Sumber lengkap di http://health.kompas.com/…/Tinggalkan.Bahasa.Keras.dan.Meme…