Kita hidup di dalam dunia dimana kita dibimbing oleh guru-guru di sekitar kita, termasuk orang tua, bahkan guru spiritual. Serta sekian banyak buku yng menginspirasi kita.
Artinya, sejak dilahirkan hingga saat ini kita hidup dalam keterkondisian. Maka segala tindakan sadar atau tidak sadar dikondisikan sejalan dengan referensi yang terekam di alam bawah sadar kita.
Suatu hari kita menyaksikan banyak perilaku orang lain yang asing. Lalu, timbul perasaan aneh dan sulit menerimanya. Mengapa? Karena realitas itu tidak ada di dalam wadah memori kita.
Namun rumitnya perjalanan hidup, ketika kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti secara sukarela memberikan pelajaran tersendiri bagi tercapainya transformasi transedental jiwa.
Di lain sisi, pikiran bersifat licin, dan sulit untuk menampung informasi baru. Sementara emosi berubah-rubah dalam hitungan detik. Pikiran dan emosi adalah dua sepasang sahabat yang tidak dapat terpisahkan. Mereka menjadi benih dari timbulnya segala tindakan kita.
Namun saya percaya, sejatinya jiwalah aktor dari setiap perbuatan. Maka perintah kepada pikiran datang dari sang Jiwa, dari diri kita sendiri dengan kesadaran luhur. Jiwa yang damai akan menciptakan pikiran yang damai pula.
Berikanlah pelayanan kepada alam dan sesama melalui pikiran damai. Dengan demikian, jiwa yang damai adalah Guru Sejati bagi setiap insan. Jiwa yang damai selalu memilih Jalan Cinta.
Sebagaimana dalam Mathnawi, “I know you are tired but come… come… this is the way,” tutur Maulana Rumi.
Penulis: Rani A. Dewi, Trainer for LVE and Couple Therapist.