Ubuntu and Conflict Prevention and Resolution

Salah satu yang tidak bisa dihindari dalam membangun keterhubungan antar personal di masyarakat adalah konflik. Pada tahapan ini, kita diajak mengekplorasi nilai-nilai Ubuntu yang berkaitan dengan nilai memaafkan, nilai toleransi, keterbukaan, dan saling memahami.

Contoh di Afrika Selatan. Kepala suku selalu memiliki keterampilan dan kepekaan terhadap inklusifitas, sikap keterbukaan, dan toleransi kepada orang lain saat melakukan peran mediasi konflik. Kepala suku yang baik mampu mendengarkan kelompok yang berbeda dan menemukan satu kesepakatan bersama. Dia akan berperan melalui cara sederhana, mendengarkan semua sudut pandang, menfasilitasi dialog, menyimpulkan dan memutuskan dengan tetap menjaga martabat serta mewakili keinginan setiap orang dalam sebuah kesepakatan yang baik.

Resolusi konflik dalam masyarakat tradisional suku-suku Afrika memiliki kesamaan karena bersumber dari semangat Ubuntu, yang disebut dengan ‘Ndaba’ atau ‘Lekgotla’ di Afrika Selatan, dan ‘Gacaca’ di Rwanda. Dalam tradisi itu, konflik diselesaikan dengan mengajak semua pihak yang bertentangan, mendorong mereka agar saling mengerti, saling mengampuni, dan melakukan rekonsiliasi.

Dalam workshop, peserta diajak untuk menemukan semangat Ubuntu di budaya masing-masing yang mendorong pencegahan dan resolusi konflik, merefleksikan nilai-nilai empati, belas kasih, dan pengampunan.

Beberapa aktivitas kreatif bisa menjadi stimulasi tahapan ini, seperti Roreplay Forgiveness, peserta diajak membayangkan telah melakukan satu kesalahan yang melukai temannya, lalu saling memaafkan, bahkan sangat mungkin memaafkan diri sendiri atas kesalahan sendiri.

Selain itu, Roleplay ‘Reconciliation’ bisa dilakukan dengan mengajak peserta untuk membayangkan sebuah tradisi perdamaian, lalu mendiskusikan pengalaman tersebut, menemukan unsur-unsur yang membangun perdamaian, serta menyepakati nilai dan sikap tradisional yang mendukung terciptanya situasi saling memaafkan dan rekonsiliasi.

Sebagai trainer LVE, Helen Sayers tetap menempatkan Mendengar Aktif (active listening skill) sebagai keterampilan dasar pencegahan konflik. Keterampilan ini membekali setiap orang agar menjadi pendengar yang baik dan bisa digunakan untuk menjalin komunikasi yang efektif.

Sebagai penutup, kita memahami bahwa masyarakat ‘Ubuntu’ mengutamakan nilai-nilai dalam kehidupan berkelompok dan menjaga hubungan positif dalam masyarakat adalah tugas bersama dari setiap orang yang terlibat dalam sebuah masyarakat.

“I don’t think that in moving forward into the modern world we should leave behind those values that were critical to our existence,” kata Mrs Nozizwe Madlala-Raoutledge, dari Afrika Selatan.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Post comment