Sharing yang menyentuh hati dari bang Shofan, salah satu trainer LVE yang berdomisili di Jabotabek.
Buku “Ubuntu” yang beliau sebut di bawah dapat diunduh dari sini:http://livingvalues.net/ubuntu.html

Mohammad Shofan added 2 new photos — with Wayan Rustiasa and 7 others.

KITA HADIR UNTUK MENGINSPIRASI MEREKA !

“Pelatihan jiwa merupakan hal terbaik… Mengembangkan jiwa berarti membentuk karakter dan membuat seseorang bisa bertindak sehubungan dengan pengetahuan terhadap Tuhan dan pengembangan diri. Dan saya percaya jika ini adalah bagian utama untuk melatih orang muda, bahwa setiap pelatihan tanpa pembinaan jiwa tidak berguna, dan bahkan bisa berbahaya.” (Mahatma Gandhi)

Kutipan di atas saya ambil dari buku “M.K. Gandhi, An Autobiograpy OR The Story of my Experiment with Truth”, sebuah buku yang berkisah tentang eksperimen-eksperimen Gandhi terhadap kebenaran, eksperimen-eksperimen dalam gerakan anti-kekerasan. Gandhi salah seorang yang menginspirasi saya. Membaca buku ini seolah-olah Gandhi sedang berhadap-hadapan dengan saya, dan menuturkan kisah hidupnya, perjuangannya dalam membebaskan bangsanya dari perbudakan dan penjajahan. Lebih jauh, Gandhi mengajak saya untuk mencintai kedamaian. Melalui buku ini pula, Gandhi menegaskan bahwa pendidikan akan sangat timpang jika ia hanya menyangkut intelek dan jasmani, tanpa disertai kebangkitan jiwa.

Selain buku Gandhi, baru-baru ini saya juga membaca buku/modul karya Helen Sayers—Direktur Oasis Pengembangan Sumber Daya Manusia, Oman—berjudul “UBUNTU! The Spirit of Humanity”. Buku ini—saya mendapatkannya dari Iqbal Hasanuddin, Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta—berisi tentang nilai-nilai universal yang penting untuk hidup bersama dalam harmoni dan membangun jembatan antar budaya dan bangsa. Di dalamnya juga terdapat berbagai macam kegiatan reflektif, kreatif dan interaktif, yang sepertinya banyak didasarkan pada pendekatan Pendidikan Living Values.

“Ubuntu” sendiri berasal dari bahasa kuno Afrika, yang berarti “rasa perikemanusian terhadap sesama manusia”. Ubuntu juga bisa berarti “aku adalah aku karena keberadaan kita semua”. Ada sejumlah alasan mengapa buku ini penting dibaca. Pertama, buku ini melengkapi apa yang sudah ditulis dengan baik oleh Diana Tillman, “Living Values Educator Training Guide”; “Living Values Activities for Children Ages 3-7” dan “Living Values Activities for Young Adults”. Kedua, buku ini baik sekali digunakan untuk melatih, dan mengembangkan keberanian untuk memaafkan orang lain, meningkatkan tingkat kasih sayang, dan mengakui bahwa kita semua adalah bagian dari satu keluarga besar umat manusia. Bukan hanya itu, tentunya. Buku ini juga berisi nilai-nilai pribadi dan sosial, keterkaitan (dengan orang lain dan dengan lingkungan), kualitas kepemimpinan, dan pencegahan dan penyelesaian konflik.

Saya merasa panggilan hidup saya ada di sini. Ya, menjadi pendidik yang baik. Setidaknya untuk anak-anak saya sendiri. Menjadi pendidik itu tidak mudah. Menjadi pendidik yang baik itu, menurut saya membutuhkan proses dan persiapan. Anak bukan barang yang kita pesan dari katalog yang disertai buku panduan. Dia adalah titipan Sang Pencipta dan sudah sepatutnya diperlakukan dengan baik. Dia punya hati dan perasaan. Seorang pendidik bukanlah mereka yang pintar menyalahkan, memarahi, dan menasehatkan, tetapi bersedia untuk tumbuh dan belajar bersama anak-anak, menyediakan diri dan hati untuk selalu belajar menjadi yang terbaik bagi anak.

Seorang pendidik juga bukan mereka yang memberitahu, menjelaskan, tetapi juga meneladankan dan menginspirasi. Saya terkejut dan tercengang membaca quotasi dari seorang penulis dan motivator berkebangsaan Amerika, William Arthur Ward : “The mediocre teacher tells. The good teacher explains. The superior teacher demonstrates. The great teacher inspires.”

Jika seorang pendidik malas membaca yang mengantarkannya ke gerbang pengetahuan, malas mengejar gagasan-gagasan yang dengannya ia mendapatkan pengertian, maka boleh jadi pendidik/orangtua akan menggunakan cara asal-asalan dalam mendidik anak, atau hanya mengikuti pola asuh yang diterapkan leluhurnya dulu. Padahal, perkembangan jaman berimplikasi pada perbedaan pola mendidik anak, dulu dan sekarang.

Seorang pendidik mesti menghadirkan kebahagiaan, menceriterakan keteladanan, dan melayarkan impian-impian di lingkungan sekolah, ruang kelas, kantin sekolah, tempat bermain dll. Jika seorang anak bermimpi untuk dirinya sendiri, maka tidak demikian halnya dengan seorang pendidik. Seorang pendidik mesti bermimpi sebanyak jumlah muridnya di ruang kelas, dan mengantarkan mereka untuk menjemput impian di masa depan.

Di sejumlah pelatihan yang pernah saya ikuti, saya sering katakan bahwa kita sebagai orangtua di rumah atau pendidik di sekolah tidak dirangcang untuk gagal memainkan peran. Jika kita gagal, kegagalan itu dari kita sendiri. Sesungguhnya, anak tidak butuh orangtua yang sempurna, melainkan teman yang menyediakan diri untuk tumbuh dan belajar bersama. Anak adalah pribadi yang harus diperlakukan dengan baik: dihargai, dihormati, dikasihi, disayangi, dimengerti, dan diperlakukan secara manusiawi.

Jostein Gaarder dalam sejumlah novelnya “Anna. En Fabel om Klodens Klima og Miljo” (Dunia Anna) ; “Sophie’s World” (Dunia Sophie), “Appelsinpiken” (Gadis Jeruk), mengajak kita berkaca siapakah sesungguhnya filsuf di muka bumi ini? Gaarder punya pendapat berbeda. Ia, menurutnya, bukanlah ahli filsafat dari Yunani atau profesor filsafat dari universitas terkemuka. Gaarder mengatakan bahwa, “Anak-anak adalah seorang filsuf”. Kata dia, “Anda tak perlu mengajari filsafat pada anak-anak. Mereka sudah jadi filsuf. Jauh lebih penting mengajari orang dewasa, sebab bersamaan kita tumbuh, kita jadi begitu terbiasa dengan dunia.”

Jika kita lihat, hampir di semua karya novelnya Gaarder menggunakan karakter anak-anak untuk menyampaikan pesan-pesan filosofi. Gaarder berpendapat bahwa cara terbaik memperkenalkan filsafat adalah dengan mencantolkan tema itu pada rasa penasaran anak-anak remaja.
Jadi, salah satu hadiah terbesar bagi anak adalah orang tua yang mau belajar soal anak. Seperti inilah yang diajarkan, misalnya oleh Brahma Kumaris Educational Society, juga diajarkan oleh para pendidik, seperti William Arthur, Lickona, Hildegard, Freire, Tillman, Dalai Lama, atau Ivan Illich. Mereka sepakat bahwa pendidikan menghidupkan nilai pada diri anak mesti dimulai dari orangtua di rumah dan guru di sekolah.

Selamat Menginspirasi !!!

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Post comment