Belakangan ini kita sering melihat atau mendengar berbagai kasus kekerasan fisik dan non-fisik di masyarakat. Termasuk kekerasan verbal (violent communication) seperti bullying, berbagai penyimpangan perilaku orang dewasa seperti kekerasan sexual kepada anak yang sangat menyedihkan. Tidak sedikit pula orangtua yang menyiksa anaknya sendiri. Dari hal yang paling sederhana, misalnya membentak di depan orang banyak, akibatnya tidak heran jika anak-anak pun melakukan kekerasan di antara teman-temannya.
Peristiwa kekerasan ini bagaikan mata rantai yang tidak putus-putusnya. Tak kalah memprihatinkan pula kekerasan atas nama agama. Apakah kita ingin mewariskan sikap-sikap ini kepada generasi muda? Tentu jawabannya Tidak.
Seorang anak lahir karena cinta kasih dan kembali kepada cinta kasih pula. Sejatinya jiwa kita diliputi cinta kasih dan karenanya adalah fitrah sebagai manusia bersikap dan berperilaku atas dasar cinta kasih terhadap diri sendiri dan orang lain. Bahkan juga pada ciptaan Tuhan lainnya. Dengan demikian bukanlah suatu alasan yang muluk-muluk jika cinta kasih menjadi landasan utama dari proses pengasuhan anak sejak dilahirkan hingga dewasa, bahkan sejak masih dalam kandungan pun bayi di percaya sudah membawa nilai-nilai luhur.
Di sinilah tugas orangtua memberikan contoh menciptakan dan membangun atmosfir yang kondusif yang memberikan rasa nyaman bagi anak agar dapat mengaktuliasasikan potensi nilai-nilai luhur yang sudah dibawa. Sehingga ia dapat tumbuh dengan sehat lahir dan batin.
Dalam pengasuhan berbasiskan nilai-nilai, ada 5 emosi dasar manusia yang menjadi hak anak untuk dipenuhi oleh orangtua yakni kebutuhan merasa aman, kebutuhan merasa damai, kebutuhan merasa dicintai, kebutuhan merasa dihargai dan kebutuhan merasa bernilai.
Cuplikan dari Buku “9 Jurus Menjadi Orangtua Bijak”, buah karya Rani A. Dewi, Trainer LVE yang telah mengembangkan Living Values Parent Groups (LVPG) di bidang Parenting/Family/Marital Therapist.