Apa kesibukan Anda akhir-akhir ini?

Akhir-akhir ini, waktu saya lebih banyak untuk Yayasan Rumah Kearifan (House of Wisdom Foundation). Pada tahun ini Rumah Kearifan lebih fokus pada penelitian dan penerbitan, selain juga tetap menjalankan program yang lain seperti pelatihan, konsultasi, dan pendampingan Lembaga Pendidikan baik tingkat sekolah maupun perguruan tinggi.

Selain itu, saya juga fokus pada anak-anak, khususnya yg mau home schooling, sebab saya dan suami masih belajar juga untuk menjadi homeschooler.  Saya juga sedang fokus untuk mendampingi beberapa mahasiswa yang tinggal di rumah kami.

Bagaimana awal mula Anda mengenal LVE?

Awal ceritanya, Saya ikut Lokakarya LVE sekitar tahun 2012. Saat itu, saya masih menjadi guru Madrasah Ibtidaiyah (MI)  dengan Trainernya saat itu adalah Bapak Muqowim.

Sejak kapan Anda menjadi Trainer dan mengapa Anda mau berkomitmen menjadi Trainer LVE?

Awalnya Saya diminta mengikuti Train the Trainer (TTT) oleh Sister Elisabeth Natalina Huwa dan Brother Philip Yusenda. Namun, saat itu Saya masih ragu untuk ikut karena Saya merasa kestabilan emosi saya masih kurang. Berkali-kali ditawari, Saya tetap masih belum yakin. Tapi pada akhirnya Saya memutuskan untuk berangkat mengikuti TTT, selain masih merasa sedikit terpaksa, saya juga sempat berpikir bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna, lalu kenapa untuk menjadi Trainer Saya harus menunggu menjadi pribadi yang sempurna? Saya sadar bahwa hidup itu sebuah proses. Berbicara terkait kualitas seseorang itu bukan berada pada hasilnya, tapi terletak pada prosesnya.

Perlu digarisbawahi bahwa “terpaksa” yang Saya maksud di atas bukan dalam pengertian yang negatif. Jadi, secara tiba-tiba Saya diberikan tiket pesawat oleh suami untuk ikut TTT ke Bogor. Ternyata, selama Saya dihubungi oleh Sis Elis, yang tidak berhasil “menawari” Saya, dia juga menghubungi suami untuk meminta bantuan agar Saya mau mengikuti TTT. Dengan banyak pertimbangan, akhirnya suami Saya bilang kepada Sis Elis bahwa Saya akan berangkat. Padahal, saat itu suami Saya belum sempat membahas itu dengan Saya sebab posisi suami waktu itu masih di luar kota. Tahu-tahu saat balik ke rumah, suami Saya menceritakan apa yang dibahasnya dengan Sis Elis via telepon, sambil menyodorkan tiket pesawat.

Menurut Saya, trainer itu hanya menjadi salah satu lampiran saja karena sejak dulu Saya sudah punya prinsip ingin banyak berbagi kepada semua orang tanpa melihat latar belakang orang tersebut seperti siapa orang itu dan apa agamanya. Spirit ini Saya dapatkan dari almarhum ayah. Jadi, sejak kecil, Saya punya motto “bisa bermanfaat untuk orang lain”. Ketika Saya sudah sah menjadi trainer, saya merasa lebih memperjelas tujuan hidup. Hal ini semakin memperkuat motto hidup Saya yang juga digemari oleh almarhum ayah yaitu berbagi. Selain itu, menjadi trainer membantu Saya untuk semakin meneguhkan jiwa positif saya ketika berpikir, merasa, dan juga bertindak.

Apa harapan Anda untuk LVE di Indonesia?

Saya berharap LVE di Indonesia terus berjalan, para trainer terus didampingi agar misi menebarkan nilai ke semua orang bisa lebih maksimal lagi.