Bagaimana awal mula Anda mengenal LVE?
Awal mula mengenal LVE itu di Banda Aceh sekitar tahun 2006. Waktu itu saya bekerja di JRS, salah satu lembaga kemanusiaan yang bekerja untuk pengungsi. Dalam sebuah kegiatan LVE Educator Workshop yang difasilitasi sister Taka untuk guru-guru SD dari daerah Aceh Jaya pacsa tsunami, saya bertugas membantu pekerjaan administratif seperti menyiapkan perlengkapan dan membuat notulensi. Dalam 4 hari saya mengamati penyelenggaraan workshop itulah proses mengenal LVE diawali.
Sejak kapan Anda menjadi Trainer dan Mengapa Anda mau berkomitmen menjadi Trainer LVE?
Di tahun 2008, saya kembali ke JRS dan bertugas di Aceh Selatan untuk project Pendidikan Perdamaian sebagai bagian dari program Pengurangan Resiko Bencana. Salah satu kegiatan yang kami selenggarakan adalah rangkaian workshop LVE untuk para guru dari 13 Sekolah Dasar, masih dengan fasilitator yang sama, sister Taka, dan tim kami dari JRS sebagai panitia. Singkat cerita, saya dan beberapa teman merasa tertarik mengenal lebih jauh LVE. Untungnya, setelah membaca dan mencoba beberapa aktivitas nilai bersama tim, kami diberi kesempatan oleh fasilitator untuk mengisi aktivitas nilai di beberapa workshop berikutnya. Sebagian dari kami, termasuk saya, kemudian tertarik menjadi trainer. Kebetulan juga di tahun 2009 ada Train the Trainer (TTT) Workshop di Yogyakarta, jadi disitulah pertama kali saya ikut TTT bersama 2 staf JRS lainnya dan mendapat sertifikat sebagai trainer, lebih tepatnya fasilitator untuk LVE Educator Workshop.
Pasca TTT 2009 saya masih sempat beberapa kali memfasilitasi workshop LVE di beberapa sekolah dan kelompok, biasanya tawaran memfasilitasi datang dari sesama trainer. Bagi saya, menjadi trainer memberi saya kesempatan berbagi sekaligus belajar. Seru dan senang bisa meluangkan waktu, tenaga, dan keterampilan secara sukarela untuk guru-guru maupun kalangan pendidik lainnya. Namun ada fase di mana saya tidak lagi memfasilitasi dan itu cukup lama hingga sertifikasi saya kadaluarsa. Beruntung ada kesempatan kedua, di tahun 2019 saya mengikuti TTT kembali di Bogor. Secara pribadi saya merasakan dan meyakini bahwa LVE adalah sebuah salah satu cara pandang sekaligus sebuah metode yang menawarkan kita untuk selalu terhubung dengan nilai-nilai yang kita yakini. Dengan menjadi trainer, saya merasa ikut ambil bagian dalam upaya menghidupkan nilai bersama para trainer di mana pun. Jika saya membatasi diri menjadi peserta workshop, saya cenderung hanya menggunakan keterampilan tersebut untuk diri sendiri. Tentu tidak ada yang salah dengan itu, namun dengan menjadi trainer saya mendapat peluang lebih untuk berbagi ke orang lain, baik yang sudah mengenal maupun yang ingin mengenal LVE.
Apa kesibukan Anda akhir-akhir ini?
Sampai saat ini saya masih bekerja di JRS (Jesuit Refugee Service) dengan fokus program penguatan komunitas pengungsi di Bogor.
Apa harapan Anda untuk LVE di Indonesia?
Saya berharap semoga LVE di Indonesia semakin berkembang, demikian juga dengan Associate (Yayasan Karuna Bali) yang menjadi wadah bagi para trainer di Indonesia. Akan sangat baik jika Associate bisa secara berkala menyelenggarakan kegiatan bagi para trainer baik yang masih aktif maupun yang ingin kembali aktif, sekaligus ruang bagi sesame trainer untuk saling menguatkan dan mengembangkan keterampilan. Lebih jauh lagi, saya berharap Associate Indonesia tetap terhubung baik dengan ALIVE Internasional dan Associate lainnya.