Isi dari pendidikan menghidupkan nilai ini sebenarnya adalah nilai-nilai Islami yang selama ini ada dalam Al Qur’an.” (Dahri, Pengawas Sekolah UPTD Tapaktuan)

“Pendidikan itu adalah proses untuk memanusiakan manusia.” jawab Abdullah Yacub, peserta Pelatihan Pendidikan Menghidupkan Nilai atau Living Values. Menurut guru honor di SDN Tapak Aulia, Kecamatan Kluet Timur ini manusia pada dasarnya sudah memiliki fitrah yang baik saat dilahirkan. Namun dalam perkembangannya banyak hal yang mempengaruhi kehidupan manusia seperti lingkungan, keluarga dan lain sebagainya. Malangnya tidak semua faktor tersebut mendukung fitrah manusia bahkan seringkali merusak. Pendapat ini dilontarkan pada Pelatihan Pendidikan Menghidupkan Nilai atau Living Values yang diselenggarakan oleh Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Selatan dan Living Values Indonesia. Pelatihan ini digelar di aula dinas pendidikan pada tanggal 20-23 September 2010, diikuti oleh 20 peserta dari sekolah-sekolah dampingan JRS seperti SDN Tapak Aulia, SDN Panton Luas, SDN Lubuk Layu serta wakil dari dinas pendidikan, pengawas sekolah (UPTD) dan kader living values.

Fitrah, martabat, nilai manusia, hakekat menjadi titik tolak diskusi-diskusi hangat yang terjadi selama pelatihan pendidikan menghidupkan nilai kali ini. Saefudin Amsa, selaku fasilitator pelatihan memang mengajak peserta untuk berangkat dari pemahaman mereka tentang dunia yang digeluti sehari-hari. Dunia pendidikan. “Pendidikan itu adalah sebuah proses perubahan dari yang tidak tahu menjadi tahu.” ungkap Arina, guru SDN Lubuk Layu, Kecamatan Samadua. Sementara Yasmalinda Ningsih, kepala sekolah MIN Lhok Bengkuang, Tapaktuan mengatakan kalau sekadar mendapatkan pengetahuan, tujuan pendidikan di Indonesia sudah tercapai. Namun kalau diukur dari akhlak, moral atau nilai sebagai manusia yang utuh masih jauh dari harapan. “Anak-anak butuh idola, butuh panutan atau contoh yang baik untuk ditiru. Salah satu orang yang bisa menjadi panutan anak-anak adalah kita sebagai guru. Sayangnya tidak semua guru menjalankan apa yang mereka katakan. Maka jangan heran kalau anak-anak kita lebih mengidolakan artis-artis.” sambung salah satu kader LV ini.

Melihat carut marutnya dunia pendidikan kita dewasa ini, para peserta ditantang untuk melakukan perubahan. Namun sebelum sebuah gerak perubahan terjadi mereka ditantang terlebih dahulu untuk melakukan perubahan pada diri sendiri. “Refleksi pengalaman mereka tentang nilai adalah sebuah upaya untuk menggali atau mengingatkan peserta tentang hal-hal positif yang berkaitan dengan nilai. Harapannya pengalaman itu direplikasi dalam kehidupan sehari-hari sekarang ini.” terang Amsa. Salah satu perubahan yang diharapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia sekarang ini adalah cara pandang kita terhadap anak didik. Memberikan stigma negatif terhadap anak menjadi fenomena yang lazim ditemui di sekolah. “Sebenarnya jika kita kembali melihat bahwa fitrah manusia itu pada dasarnya baik, maka tidak ada anak yang bodoh, bandel, sulit diatur dan sebagainya.” tambah pengasuh TPA Nurul Ulum, Boyolali, Jawa Tengah ini. Living values mengajak kita untuk tidak berhenti ketika berhadapan dengan satu realitas namun terus menggali sampai menemukan akar persoalan atau penyebab utamanya. Termasuk ketika berhadapan dengan perilaku anak-anak disekolah. “Karena pada intinya ada lima kebutuhan anak; dilindungi, dicintai, dihargai, dipahami dan bernilai.” papar Elisabeth Huwa, salah satu fasilitator pelatihan. “Perilaku anak yang muncul ke permukaan biasanya berkaitan dengan lima kebutuhan ini. Bisa jadi karena kurang dicintai atau dihargai muncul ekspresi yang selama ini kita anggap negatif.” ungkapnya lebih lanjut.

“Pelatihan living values ini sebenarnya sejalan dengan kurikulum yang sekarang berlaku di Indonesia.” jelas Yushardi, pengawas dari UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) Tapaktuan. “Karena dalam kurikulum KTSP sekarang ini, guru bukan lagi menjadi pusat kegiatan belajar-mengajar. Subyek dari pendidikan itu sendiri adalah siswa. Maka keterampilan guru untuk memotivasi, menggali, mendukung dan memfasilitasi siswa di sekolah menjadi sangat penting.” Living values memang menyediakan ruang lebih besar bagi anak untuk berani bereksplorasi, berekspresi dan bermain dengan dunianya. Namun syarat mutlak untuk sampai pada titik ini adalah bahwa lima kebutuhan anak itu terpenuhi disamping tumbuhnya lingkungan yang mendukung dimana 12 nilai utama-yang menjadi bagian dari fitrah manusia-dihidupi secara konsisten dalam keseharian kita.

“Bagaimana kita menerapkan living values ini disekolah? Apakah menjadi mata pelajaran baru?” tanya Kiswari, guru SDN Lubuk Layu. Kegiatan menghidupkan nilai atau living values adalah aktivitas yang bisa diterapkan dimanapun. Ia bukan sebuah konsep rigid yang hanya efektif jika terintegrasi dalam kurikulum atau kegiatan belajar mengajar. Living values adalah media sebuah ‘gerakan’ untuk mewujudkan dunia yang lebih baik. “Jadi ketika bapak-ibu kembali ke sekolah, living values ini bisa diterapkan dalam mata pelajaran apapun, termasuk matematika misalnya.” jawab Elisabeth lebih lanjut. “Tetapi sebelum bapak-ibu menerapkan living values ini di sekolah, bapak dan ibu harus memahami betul semangat living values bahwa perubahan itu mungkin terjadi kalau dimulai dari diri kita sendiri terlebih dahulu.” terang Zainuddin, koordinator pelatihan.

Dalam pelatihan ini para peserta dikenalkan dengan beberapa aktivitas yang harapannya bisa membantu penerapan living values di sekolah. Diantaranya kegiatan membuat kue damai, mendengar aktif, resolusi konflik dan simulasi menerapkan living values dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Selama aktivitas ini para peserta banyak mendapat pengetahuan baru dalam kaitannya dengan pola mendidik anak di sekolah. Namun tidak semua pengetahuan ini mudah dicerna. Ini berkaitan dengan paradigma atau cara pandang yang selama ini mereka percayai. “Kalau bagi saya jika ada anak yang berkonflik, nggak perlu ditanya dulu apakah mau dibantu atau tidak. Karena itu sudah menjadi tugas kita sebagai guru.” tukas Kiswari, menanggapi salah satu prinsip resolusi konflik dimana mediator perlu bertanya kepada kedua belah pihak yang berselisih apakah mereka perlu dibantu atau tidak. “Kalau saya sendiri berpendapat bahwa kita perlu bertanya lebih dahulu, karena meskipun mereka anak-anak dengan kita tanya lebih dahulu mereka akan merasa dihargai.” sanggah Rahwamati, staf school project JRS. Menurut Zainuddin, kita perlu bertanya dulu kepada pihak yang berkonflik, meskipun mereka anak-anak. “Ini adalah bagian dari proses untuk mendewasakan mereka.” terangnya. “Siapa tahu mereka sendiri sebenarnya sudah memiliki jalan keluar terhadap persoalan yang mereka hadapi. Kalau kita biasakan untuk selalu membantu menyelesaikan persoalan mereka, bagaimana jika ada situasi dimana tidak ada orang dewasa di sekitar mereka?” sambung ayah satu putra ini.

Perubahan bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Persoalannya apakah kita punya cukup komitmen untuk melakukannya. Berani keluar dari dunia asumsi dan kenyamanan yang selama ini terbangun disekitar kita. Living values menawarkan sebuah sarana sederhana untuk melakukan perubahan; yaitu meminta kita melihat ke dalam diri dan kembali pada fitrah kita sebagai mahluk ciptaanNya yang paling sempurna.

“Kalau pendidikan menghidupkan nilai ini diterapkan di semua sekolah, saya yakin tujuan pendidikan nasional untuk mencetak kader-kader bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia sesuai fitrahnya semula akan tercapai. Sehingga proses memanusiakan manusia itu akan terlaksana dengan baik.” ungkap Abdullah Yakub.

Paulus Enggal (IAO JRS- School Project)

Tapaktuan