There can never be peace, between nations until it is first known that true peace is within the souls of men (Oglala Sioux)
Peace is not the absence of war; it is a virtue, a state of mind, a disposition for a benevolence, confidence, justice (Baruch Spinoza)
Meski selama beberapa tahun terakhir tidak terjadi konflik horizontal dalam skala yang besar, namun tidak berarti bahwa bangsa Indonesia terbebas dari bom waktu bernama konflik kekerasan. Dalam diskursus membangun perdamaian (peacebuilding), situasi ini disebut tahap laten, di mana potensi konflik masih ada dan bisa meledak kapan saja, tergantung dari ketersediaan faktor pemicunya.
Sebagai bangsa majemuk yang sedang bergumul dengan persoalan domestik maupun kaitannya dengan perkembangan di dunia global, Indonesia memiliki potensi konflik yang cukup besar. Potensi konflik terletak pada keberagaman latar belakang budaya, serta tingkat kesejahteraan yang berbeda. Kesalahan dalam mengelola kemajemukan tersebut bisa berpotensi memicu konflik kekerasan, sebagaimana yang pernah terjadi.
Dalam lingkup yang lebih kecil, potensi konflik ada pada bahasa kekerasan yang ditempuh oleh sebagian pihak dalam menyelesaikan setiap persoalan. Cara-cara kekerasan juga dibudayakan baik oleh inidividu maupun berbagai institusi sosial politik dan ekonomi demi mencapai keuntungan dan kepentingan tertentu. Selain itu, media massa yang seharusnya menjadi penyampai pesan informatif dan edukatif juga secara terus-menerus mengkampanyekan kekerasan, lewat berbagai tayangan atau bentuk publikasi cetak lainnya. Dengan berbagai bentuk dan media penyebaran, kekerasan akhirnya menjadi budaya yang tentu sangat berpengaruh pada perkembangan mental dan karakter individu.
Kami merasa televisi punya pengaruh yang sangat besar pada perilaku anak-anak,” tutur Helmawita (45) guru SD Lhok Rukam. “Perilaku anak-anak yang cenderung mengarah pada hal-hal yang sifatnya negatif sering ditiru dari apa yang mereka lihat di televisi,” tambah Abdullah Isa (29) guru SDN Pulo Kambing. Fenomena ini terungkap dalam sharing pengalaman selama Pelatihan Pengembangan Nilai Dalam Proses Belajar Mengajar di Sekolah yang diselenggarakan atas kerjasama Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia, Living Values Education Indonesia dan Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Selatan, 29 Juni-2 Juli 2009 di aula pertemuan dinas pendidikan.
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas sederhana, yaitu suatu sistem pendidikan yang bisa membentuk generasi yang menghargai keadilan, menghargai sesama, dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kemanusiaan sebagai prasyarat bagi terciptanya suasana damai dan harmoni. Dengan kata lain, pendidikan perdamaian menjadi kebutuhan mutlak, tidak hanya dalam konteks wilayah yang sedang bergejolak karena perang atau kekerasan, tetapi juga sebagai upaya untuk mengembangkan kepribadian setiap individu atau warga negara demi kualitas kehidupan mereka sendiri.
Sebenarnya ada banyak model atau bentuk pendidikan perdamaian, seperti yang dikembangkan oleh Unicef. Tetapi JRS memilih Living Values Education sebagai bentuk pendidikan perdamaian yang ingin dikembangkan di Aceh Selatan,” terang Saefuddin Amsa, Koordinator Pelatihan Living Values Education di JRS. Pemilihan living values sebagai model pendidikan perdamaian didasarkan pada tiga hal. Pertama, living values bisa dikembangkan dalam situasi apapun baik pada masa konflik maupun damai karena yang digali dalam LV adalah nilai-nilai universal yang ada dalam diri setiap orang. Kedua, LV sudah menyediakan tools yang cukup lengkap. “Alasan ketiga adalah karena yang dikembangkan dalam living values adalah nilai-nilai universal maka dia bisa menjadi dasar bagi aktivitas lainnya,” tutur Amsa lebih lanjut.
Pelatihan Pengembangan Nilai Dalam Proses Belajar Mengajar di Sekolah ini sebenarnya sejalan dengan visi dan misi dinas pendidikan sendiri yang dituangkan dalam Sekohat atau Sekolah Sehat,” terang Kasman (45) Sekretaris Dinas Pendidikan Aceh Selatan. Sekohat sendiri mencakup tiga hal: Sehat Kegiatan Belajar Mengajar, Sehat Lingkungan dan Sehat Administrasi. Hal ini diamini Taka Gani (44) Fasilitator Pelatihan LV. “Living Values sendiri mencoba menciptakan sekolah sehat dalam kegiatan belajar mengajar,” paparnya.
Dalam insitusi pendidikan formal, dalam hal ini sekolah, pendidikan perdamaian memuat usaha atau kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan suasana atau budaya damai di lingkungan sekolah. Tetapi yang tidak kalah penting adalah proses untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu lingkungan sekolah ataupun kegiatan pembelajaran yang memberi ruang kepada siswa untuk menerapkan nilai atau prinsip-prinsip perdamaian, seperti penghargaan, kasih sayang, toleransi dan kerjasama dengan orang lain. Bagi peserta pelatihan suasana atau budaya damai disekolah diterjemahkan
dalam istilah ‘sekolah ideal’.
“Menurut saya, sekolah ideal adalah sekolah yang ramah lingkungan,” ungkap Hamnis (43) guru MIN Air Pinang. “Dimana guru harus mengerti dan memahami latar belakang murid,” sambungnya lagi.
“Sekolah ideal adalah sekolah dimana guru mau melayani siswa dan bersedia menjadi pengganti orangtua,” sambung Marwati (40) Kepala Sekolah SDN Ie Mirah.
“Sekolah ideal akan terbentuk ketika ada kasih sayang, dimana guru tidak membeda-bedakan anak. Apakah dia pandai atau bodoh, kaya atau miskin,” jelas Yasmalinda Ningsih (41) Kepala Sekolah MIN Air Pinang.
Pendidikan perdamaian di sekolah yang menekankan pada proses mengharuskan adanya prinsip atau pendekatan yang menjadi landasan dari setiap kegiatan atau interaksi antar individu di lingkungan sekolah. Sebagaimana dalam kegiatan belajar mengajar pada umumnya, prinsip atau pendekatan ini menempatkan guru sebagai pemegang peran utama. Tentu karena kegiatan atau suasana yang dirancang dalam pendidikan perdamaian ini bertujuan untuk menciptakan suasana atau budaya damai, maka seorang guru dalam hal ini juga harus menjadi orang pertama yang menciptakan suasana dan budaya damai tersebut.
Seorang guru yang betul-betul peduli pada perkembangan karakter anak didik melalui pendidikan perdamaian harus terlebih dulu memiliki kesadaran dan menjunjung tinggi nilai-nilai kedamaian dalam dirinya. Hal ini karena pendidik tidak hanya mengajarkan suatu pengetahuan, tetapi juga bertanggungjawab terhadap perkembangan karakter dan kepribadian anak didik sehingga jika ia memulai dari dirinya sendiri maka ia akan menjadi panutan bagi anak didiknya.
Oleh karena itu dalam aktivitas menghidupkan nilai di sekolah atau living values, yang menjadi sasaran pertama adalah guru dan kepala sekolah. Merekalah yang nantinya akan menggali bersama 12 nilai dalam living values bersama siswa. Dan aktivitas ini tidak menjadi sebuah mata pelajaran tersendiri namun terintegrasi dalam kegiatan belajar mengajar bahkan dalam sikap keseharian guru di sekolah,” terang Elis, Koordinator School Project JRS Aceh Selatan. “Ini yang menjadi dasar juga mengapa School Project menempatkan pelatihan living values di setiap awal kluster, karena nilai-nilai dalam living values itulah yang menjadi core atau inti setiap aktivitas di school project,” tambahnya.
“Dalam relasi dan interaksinya kepada anak didik, seorang pendidik yang berjiwa damai tidak akan menempatkan dirinya sebagai guru yang hanya bertugas mengajar, atau sekedar hubungan antara guru dengan murid. Lebih dari itu, pendidik berjiwa damai juga mampu menciptakan suasana penuh kasih sayang kepada anak didiknya. Sikap yang sama juga ia terapkan dalam konteks relasi dengan sesama guru, kepala sekolah, atau anggota komunitas sekolah lainnya.
Bagi saya materi tentang mendengar aktif akan sangat membantu dalam memahami kondisi siswa. Kalau selama ini saya hanya melihat sisi luarnya saja maka dengan mendengar aktif saya bisa melihat latar belakang mengapa anak bisa bersikap seperti ini atau itu,” ungkap Kurnia (40) guru SDN Panjupian.
Pelatihan menghidupkan nilai dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah ini bisa membantu saya untuk menciptakan sekolah yang ideal. Sekolah yang aman dan damai, hubungan murid dan guru yang saling menghormati dan menghargai,” papar Evidawati (22) guru SDN Lhok Sialang Rayeuk.
Menurut saya dengan pelatihan menghidupkan nilai ini, kami sebagai guru yang mengajar di daerah konflik bisa terbantu untuk menciptakan kedamaian antara murid dengan murid maupun murid dengan guru,” jelas Syakrimuna (42) guru SDN Ie Mirah.
Dengan berbagi pengalaman bersama rekan-rekan guru yang lain selama pelatihan ini, kami bisa tahu kondisi masing-masing sekolah dan bagaimana kami bisa menciptakan sekolah yang ideal itu. Sehingga apa yang kita cita-citakan bersama sebagai tujuan pendidikan nasional akan tercapai,” ungkap Mardhiah (48) wakil kepala sekolah SDN
Panjupian.
Pada akhirnya, seorang pendidik berjiwa damai adalah mereka yang menyadari bahwa menjadi guru bukan hanya pekerjaan yang digeluti demi mendapatkan imbalan materi dan profesi yang hanya melekat ketika berada di kelas atau lingkungan sekolah. Guru berjiwa damai menyadari bahwa status mereka sebagai pendidik lengkap dengan semua sifat positif dan nilai perdamaian yang melekat (embedded) dalam dirinya, dan dengan penuh kesadaran menerapkan sifat positif tersebut bagi masyarakat dan tempat dia tinggal.
(Saefuddin Amsa dan Paulus Enggal, Jesuit Refugee Service Tapaktuan-Aceh Selatan)