Cuaca di awal Desember ini cukup terik. Sinar matahari terasa mengigit, masuk ke celah-celah ruangan, menembus jendela kaca. Kain korden coklat yang digerai tidak mampu menahan masuknya hawa panas ke dalam ruangan aula dinas pendidikan Aceh Selatan yang terletak persis di bibir Samudera Hindia. Kontras dengan cuaca beberapa hari belakangan, ketika Tapaktuan selalu dinaungi mendung dan hujan akhir tahun. Namun cuaca hari itu tidak menghalangi peserta Pelatihan Menghidupkan Nilai dalam Proses Belajar Mengajar di Sekolah yang diselenggarakan atas kerjasama Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia, Dinas Pendidikan Aceh Selatan dan Living Values Indonesia, tanggal 3-6 Desember 2009.

Suasana pelatihan Living Values Education di Tapaktuan, Aceh Selatan

Mereka adalah kepala sekolah, guru, pegawai dinas pendidikan, pengawas sekolah dari UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) dinas pendidikan wilayah Tapaktuan dan staf JRS. Semuanya masyuk dalam sesi simulasi resolusi konflik yang merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai peserta dalam kegiatan menghidupkan nilai. Berempat-empat, ke-36 peserta mempraktekkan keterampilan ini. Dua orang berperan sebagai pihak yang berkonflik, satu orang sebagai penengah sementara yang lain mengamati proses penyelesaian konflik yang dilakukan oleh penengah.

“Ini bu dia sengaja senggol-senggol saya, tuh baju saya hampir robek dibuatnya,” tutur ibu Yurnalis. “Bukan begitu bu, saya kan jalan, tangan kan sering lenggak-lenggok gitu, nggak sengaja kena dia,” balas pak Auyas tidak mau kalah. “Alah memang dia kalau sama perempuan suka begitu bu,” jawab ibu Yurnalis spontan. Ibu Siti Hajizar yang berperan menengahi konflik antara ibu Yurnalis dan pak Auyas sempat kebingungan meredakan ketegangan diantara keduanya.

Pelatihan menghidupkan nilai dalam proses belajar mengajar di sekolah atau Living Values Education selalu mengawali pelaksanaan kegiatan pendidikan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan perdamaian untuk komunitas sekolah. Seperti halnya di kluster III yang terdiri dari tujuh sekolah, masing-masing: SDN Panton Luas, SDN Silolo, MIN Silolo, MIS Paya Ateuk, SDN Paya Ateuk, SDN Kampung Paya dan SDN Tapak Aulia. Ia menjadi awal karena kegiatan menggali atau menghidupkan nilai ini adalah core atau dasar program PRB dan Pendidikan Perdamaian (PP) untuk komunitas sekolah. Setiap kegiatan yang dijalankan bersama di sekolah baik itu pengenalan lingkungan hidup, Fun DRR, maupun membangun kesiapsiagaan sekolah menghadapi bencana selalu menemukan benang merahnya pada nilai-nilai yang digali bersama. Ia menjadi warna yang kasat mata akan terlihat di setiap aktivitas, menjiwai dan mengawal keseluruhan program. Ia adalah bagian yang sangat penting dalam membangun sebuah kesadaran tentang pentingnya menciptakan suasana aman dan menyenangkan di sekolah. Bumbu utama yang tidak boleh diabaikan ketika meramu pengetahuan, keterampilan maupun sikap dalam mewujudkan budaya pencegahan di sekolah. Dan memastikan bahwa apa yang dilakukan bersama selama 1,5 tahun tidak berhenti pada tingkat kognitif semata namun menyentuh kesadaran yang paling dalam sehingga apa yang sudah dilakukan bersama JRS akan tetap ada sampai kapan pun.

“Kalau kita menerapkan metode ini (resolusi konflik), saya yakin tidak akan ada lagi konflik di Aceh,” tegas Drs. Yusri dari UPTD wilayah Tapaktuan. Menurutnya ini adalah metode baru yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Selama ini ketika mencoba menengahi sebuah perselisihan, selalu tergoda untuk langsung mendamaikan pihak-pihak yang berselisih tanpa duduk bersama dan mendengar pendapat masing-masing pihak. “Metode ini saya pikir tidak hanya cocok diterapkan di sekolah tetapi juga dalam kehidupan kita sehari-hari,” tambahnya.

“Anak-anak, sekarang ibu minta kalian menggambar dunia yang penuh kedamaian,” pinta ibu Siti Hajizar, dalam praktek simulasi kegiatan menghidupkan nilai di kelas. “Gambarnya, gambar apa bu?” tanya pak Zainal yang berperan sebagai salah satu murid. “Gambarnya terserah anak-anak, yang penting menggambarkan suasana damai, boleh suasana di rumah, sekolah, gambar pemandangan atau yang lain,” jawab guru senior di SDN Silolo ini.

Segera ‘murid-murid’ ibu Siti Hajizar larut dalam aktivitas menggambar dunia yang penuh kedamaian. Masing-masing sibuk dengan spidol, crayon, dan pensil warna. Sesekali kelas berderai ketika ada yang mengomentari gambar temannya. Mirip celoteh anak-anak di sekolah.

“Ini laut bu, ini sawah, ini ada orang mau ke gunung bu,” jelas ibu Halimatun Yusuf. “Oh jadi ini gambar waktu konflik dulu ya nak, ini orang itu yang biasa naik ke gunung ya?” cetus ibu Siti Hajizar. Mendengar komentar guru mereka, spontan ‘kelas’ riuh dengan tawa.

Suasana tidak jauh berbeda ditemukan di ‘kelas-kelas’ lainnya. Mereka begitu hidup. Dengan guru yang kreatif, anak yang aktif dan improvisasi-improvisasi yang mungkin selama ini jarang ditemukan dalam kelas yang sesungguhnya.

“Sebelum belajar, mari kita nyanyikan satu lagu supaya kita semangat belajar,” ajak ibu Jahri kepada murid-muridnya. “Jangan datang kesini hanya datang, duduk, diam, dengar,” tukasnya lagi.

Di sini damai
Di sana damai
Dimana-mana hatiku damai
Di rumah damai
Di sekolah damai
Sama teman-teman juga damai
Lalalalalalalalalalalalalalalala….

 

“Kalau kita suka berantam atau berkelahi, damai tidak?” tanya ibu Siti Rahmawati kepada ‘murid-muridnya’. “Tidak bu,”jawab murid-muridnya serentak. “Jadi damai itu tidak bertengkar, tidak ada perang, tidak ada bencana, dan saling berbagi,” simpul ibu wakil kepala sekolah SDN Silolo ini. “Kami berbagi nilai bersama siswa-siswa di sekolah seperti kebahagiaan, kedamaian seperti yang sudah kami alami selama pelatihan ini,” tutur ibu Rosnidar menyimulasikan praktek menghidupkan nilai dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. “Kami yakin kalau sistem pembelajaran ini diterapkan di sekolah nantinya maka siswa-siswa kami akan lebih berhasil ke depan,” ungkapnya yakin. Hal ini dikuatkan dengan sharing pengalaman lima orang guru dari kluster 1 dan 2 yang sudah lebih dahulu mempraktekkan kegiatan menghidupkan nilai di sekolah masing-masing. Ibu Yusria Misda, ibu Yasmalinda Ningsih, ibu Yurnalis, pak Zainal Abidin dan pak Tarjuman menceritakan perubahan-perubahan positif yang mereka alami dan bagaimana semua perubahan itu bermuara pada perubahan yang dimulai dari diri mereka sendiri.

“Setelah mengikuti pelatihan living values education, kami di sekolah sepakat untuk mengubah susunan bangku anak-anak. Tidak lagi menghadap ke depan tetapi kami buat lingkaran,” tutur ibu Yurnalis dari SDN Panjupian mengawali sharing pengalamannya siang itu. Menurut ibu yang baru diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) setahun lalu ini, perilaku anak berubah menjadi lebih baik dengan duduk melingkar seperti itu. “Kalau dulu sering anak-anak itu ganggu kawannya di kelas, macam congkek kawan di depannya. Sekarang setelah kami buat melingkar tidak ada lagi yang saling mengganggu seperti dulu,” tambahnya. Menurutnya dengan duduk melingkar, anak-anak bisa melihat wajah semua kawannya, bisa lebih mengenal dan lebih dekat. “Mereka bisa merasakan apa yang dirasakan oleh kawan yang lain,” tutup guru yang murah senyum ini.

Ekspresi kreatif sebagai bagian dari aktivitas bermuatan nilai dalam Living Values Education

“Pertama dulu mengikuti pelatihan living values ini, mentah-mentah saya menolaknya,” ungkap pak Tarjuman. Diceritakannya bahwa pendidikan menghidupkan nilai ini harus dijalankan dengan kesabaran, kasih sayang, perhatian dan penghargaan kepada murid. “Tidak boleh membentak atau memukul,” tambahnya. Padahal kondisi SDN Ie Mirah tempatnya mengajar sangat terpencil dan terpengaruh oleh konflik. Konflik membentuk karakter anak menjadi lebih keras, resisten terhadap hal-hal yang tidak mereka senangi. “Kalau pelajaran menggambar, itu yang digambar anak-anak selalu senjata. Macam M16 lah atau FN,” lanjutnya. Mendidik anak-anak dengan keras termasuk dengan memukul adalah kebutuhan. Apalagi dengan paradigma lama dimana guru adalah pusat kegiatan belajar mengajar sementara murid murni hanya menjadi penerima saja. Setelah mengikuti pelatihan menghidupkan nilai, pelan-pelan kesadarannya terbuka. Bahwa sekarang bukan saatnya mendidik anak dengan kekerasan. “Sudah tidak ada lagi pepatah bahwa di ujung roll (penggaris panjang dari kayu) itu ada emas,” tuturnya.

Perubahan seringkali sulit diterima. Apalagi ketika menyangkut nilai, paradigma atau prinsip yang sudah kita percayai kebenarannya. Perubahan membutuhkan proses, bisa cepat, sedang atau lambat. Perubahan meskipun seringkali dipandang sebagai sebuah dimensi baru yang asing atau fenomena yang belum terjamah adalah jawaban dari jiwa dan semangat pengembaraan manusia untuk selalu mencari kebaikan dan kesempurnaan hidup. “Anak-anak di sekolah sekarang sudah banyak berubah. Dulu sebelum ada JRS mereka keras, trauma akibat konflik. Tapi sekarang setelah JRS melakukan kegiatan di sekolah, mereka sudah banyak yang berubah,” tutur ibu Marwati, Kepala Sekolah SDN Ie Mirah. Perubahan yang diceritakan Ibu Marwati mencakup pada perilaku anak-anak, dari yang keras, suka meniru apa yang dilihat semasa konflik, mudah takut dan cemas menjadi anak-anak yang lebih ceria, terbuka pada orang lain dan mudah dibimbing. Dan perubahan itu menjadi sebuah gerakan yang masif dan solid ketika dimulai dari sesuatu yang kecil dan berakar pada diri sendiri. Pendidikan menghidupkan nilai tidak akan berhasil kalau tidak ada sesuatu yang dimulai dari diri sendiri. Sebuah kesadaran yang ditemukan selama proses yang terus terang tidak mudah. Menggali nilai artinya menemukan nilai itu di dalam diri sendiri untuk ditularkan kepada orang lain lewat apa yang kita katakan, apa yang kita lakukan dan apa yang orang lihat dari diri kita.

“Dulu anak-anak kalau buat kesalahan pasti lari. Takut,” tutur pak Tarjuman. “Namun setelah saya lebih perhatian, mengubah cara saya mengajar selama ini, tidak ada lagi anak-anak yang lari. Mereka malah datang ke saya dan bilang kalau abis melakukan ini dan itu,” sambungnya lagi.

“Pertama ketika mengikuti pelatihan ini dihari pertama, saya pikir ini sejenis isme-isme baru,” ungkap pak Syahruddin dari UPTD Tapaktuan. “Waktu itu saya berpikir kalau ini bertentangan dengan kepercayaan yang saya anut. Makanya ketika ada sesi membayangkan dengan musik, saya memilih untuk keluar. Karena bagi saya ini bertentangan,” lanjutnya. “Tetapi setelah saya ikuti sampai hari ini, saya yakin kalau living values ini bukan isme-isme baru tetapi sebuah metode bagaimana mendidik anak-anak kita supaya mencapai kehidupan yang lebih baik,” tutupnya.

(Paulus Enggal, Information Advocacy Officer, School Project, Jesuit Refugee Service Tapaktuan-Aceh Selatan)